Hal yang mungkin jarang dihadapi atau bahkan sama sekali belum pernah dialami umat Islam Indonesia ialah bersuci (istinja’) dengan tissu ketika selesai buang air besar atau kecil. Penggunaan tissue sangat memungkinkan dan boleh saja terjadi seperti ketika berada di pesawat terbang. Hal itu selain praktis, juga karena terbatasnya air yang tidak mungkin dipergunakan.
Persoalannya apakah tissu secara hukum memenuhi persyaratan untuk istinja’. Sedangkan istinja’ setelah buang air besar (taghawuth) dan air kecil (baul) adalah wajib. Dan shalat tidak akan sah tanpa istinja’ terlebih dahulu, disamping wudlu’ bila berhadas kecil dan mandi bila berhadas besar.
Apabila wudlu’ dan mandi dapat diganti dengan tayamum hanya pada saat tertentu saja, misalnya karena tidak ditemukannya air, tidak demikian halnya dengan istinja’. Meskipun fungsi istinja’ menghilang- kan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, tetapi menurut fiqih, istinja’ dapat dilakukan dengan batu baik dalam kondisi tersedia air atau tidak. Namun permasalahannya bagaimana apabila dengan tissu, apakah tissu bisa disamakan dengan batu.
Didalam fiqih, makna batu (hajar) tidak sekadar makna yang keseharian kita pahami, misalnya; batu sungai atau yang biasa digunakan untuk bahan pondasi bangunan, Tetapi lebih luas dari itu, meliputi batu dalam arti hakiki dan batu dalam arti syar’i.
Batu (hajar) hakiki adalah seperti yang kita pahami dalam keseharian sebagaimana diatas, sedangkan batu (hajar) syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori benda-benda muhtarom (dimulyakan atau berharga). Sebagai contoh: batu, kayu, tembok dan kulit binatang. Semua itu dinamakan “hajar/batu syar’i” dan boleh untuk istinja’. Dengan demikian hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukumnya jelas, karena ada persamaan antara keduanya dalam illat (alasan terjadinya hukum).
Apabila tissu yang bukan katagori air dan bukan batu-hakiki itu dapat dikategorikan sebagai batu-syar’i, maka tissu boleh digunakan untuk istinja’. Kenyataannya jika diamati tissu memenuhi persyaratan- persyaratan itu;
1. Tissu termasuk benda padat (jamid) yang berwujud kertas dan tidak najis.
2. Tissu dapat mengangkat / menghilangkan najis karena ia kertas kasar atau tidak halus (qali’un atau bisa menghilangkan najis).
3. Tissu termasuk benda (kertas) yang tidak muhtaram.
Jika ada kertas yang dipandang muhtaram (dimulyakan), bukan karena kertasnya melainkan disebabkan oleh sesuatu yang menempel di kertas itu seperti tulisan-tulisan kalimat suci atau kertas- kertas kitab dan sebagainya.
Hanya saja, yang perlu diperhatikan sungguh-sungguh ialah; apabila istinja’ menggunakan batu hakiki atau batu syar’i, pemakaian disyaratkan 3 (tiga) kali usapan dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Bila sudah diusap tiga kali dengan batu yang berbeda ternyata masih belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih. Wallahu a’lam bisshawab.
oleh: KH. Sa'dun Zen SU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar